Teori Kontingensi (Contigensy Theory)
Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Teori Path-Goal tentang kepemimpinan meneliti bagaimana empat aspek perilaku pemimpin mempengaruhi kepuasan serta motivasi pengikut. Pada umumnya pemimpin memotivasi para pengikut dengan mempengaruhi persepsi mereka tentang konsekuensi yang mungkin dari berbagai upaya. Bila para pengikut percaya bahwa hasil-hasil dapat diperoleh dengan usaha yang serius dan bahwa usaha yang demikian akan berhasil, maka kemungkinan akan melakukan usaha tersebut. Aspek-aspek situasi seperti sifat tugas, lingkungan kerja dan karakteristik pengikut menentukan tingkat keberhasilan dari jenis perilaku kepemimpinan untuk memperbaiki kepuasan dan usaha para pengikut.
LPC Contingency Model dari Fiedler berhubungan dengan pengaruh yang melunakkan dari tiga variabel situasional pada hubungan antara suatu ciri pemimpin (LPC) dan kinerja pengikut. Menurut model ini, para pemimpin yang berskor LPC tinggi adalah lebih efektif untuk situasi-situasi yang secara moderat menguntungkan, sedangkan para pemimpin dengan skor LPC rendah akan lebih menguntungkan baik pada situasi yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Leader Member Exchange Theory menjelaskan bagaimana para pemimpin mengembangkan hubungan pertukaran dalam situasi yang berbeda dengan berbagai pengikut. Hersey and Blanchard Situasional Theory lebih memusatkan perhatiannya pada para pengikut. Teori ini menekankan pada perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya dan hubungan pemimpin pengikut.
Leader Participation Model menggambarkan bagaimana perilaku pemimpin dalam proses pengambilan keputusan dikaitkan dengan variabel situasi. Model ini menganalisis berbagai jenis situasi yang mungkin dihadapi seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Penekanannya pada perilaku kepemimpinan seseorang yang bersifat fleksibel sesuai dengan keadaan yang dihadapinya.
Teori Vroom dan Yetton
Leader-Participation Model ditulis oleh Vroom dan Yetton (1973). Model ini melihat teori kepemimpinan yang menyediakan seperangkat peraturan untuk menetapkan bentuk dan jumlah peserta pengambil keputusan dalam berbagai keadaan. Teori Yetton dan Vroom mengemukakan bahwa kepuasan dan prestasi disebabkan oleh perilaku bawahan yang pada gilirannya dipengaruhi oleh perilaku atasan, karakteristik bawahan dan faktor lingkungan. Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan yang dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kepada para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan yang bersangkutan melaksanakan tugas-tugas pentingnya.
Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yang tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Dalam mengambil keputusan, bagaimana pemimpin memperlakukan bawahannya. Dengan kata lain seberapa jauh para bawahannya diajak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.
Teori kepeminmpinan vroom & yetton adalah jenis teori kontingensi yang menitikberatkan pada hal pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemimpin. Dalam hal ini ada 5 jenis cirri pengambilan keputusan dalam teori ini :
1. A-I : pemimpin mengambil sendiri keputusan berasarkan informasi yang ada padanya saat itu.
2. A-II : pemimpin memperoleh informasi dari bawahannya dan mengambil keputusan berdasarkan informasi yang didapat. jadi peran bahawan hanya memberikan informasi, bukan memberikan alternatif.
3. C-I : pemimpin memberitahukan masalah yang sedang terjadi kepada bawahan secara pribadi, lalu kemudian memperoleh informasi tanpa mengumpulkan semua bawahannya secara kelompok, setelah itu mengambil keputusan dengan mempertimbangkan/ tidak gagasan dari bawahannya.
4. C-II : pemimpin mengumpulkan semua bawahannya secara kelompok, lalu menanyakan gagasan mereka terhadap masalah yang sedang ada, dan mengambil keputusan dengan mempertimbangkan/tidak gagasan bawahannya
5. G-II : pemimpin memberitahukan masalah kepada bawahanya secara berkelompok, lalu bersama – sama merundingkan jalan keluarnya, dan mengambil keputusan yang disetujui oleh semua pihak.
contoh kasusnya, dalam sebuah toko kue, pemimpin toko akan membicarakan masalah yang terjadi, misalnya cara menarik minat pembeli agar menjadi pelanggan tetap tokonya. Pemilik toko akan mengumpulkan semua karyawannya dan menanyakan pendapat mereka. pemilik akan menampung semua gagasan mereka, lalu memilih gagasan yang dianggap paling menarik dan disetujui oleh semua karyawannya.
Contoh kasus diatas, itu sesuai dengan cirri pengambilan keputusan G-II yang dikemukakan oleh vroom & yetton. Dan menurut saya, ciri G-II adalah yang paling layak digunakan.
Teori Path Goal
Path-Goal Theory atau model arah tujuan ditulis oleh House (1971) menjelaskan kepemimpinan sebagai keefektifan pemimpin yang tergantung dari bagaimana pemimpin memberi pengarahan, motivasi, dan bantuan untuk pencapaian tujuan para pengikutnya. Bawahan sering berharap pemimpin membantu mengarahkan mereka dalam mencapai tujuan. Dengan kata lain bawahan berharap para pemimpin mereka membantu mereka dalam pencapaian tujuan-tujuan bernilai mereka.
Ide di atas memainkan peran penting dalam House’s path-goal theory yang menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan pemimpin yang menjelaskan bentuk tugas dan mengurangi atau menghilangkan berbagai hambatan akan meningkatkan persepsi para bawahan bahwa bekerja keras akan mengarahkan ke kinerja yang baik dan kinerja yang baik tersebut selanjutnya akan diakui dan diberikan ganjaran.
Path Goal Theory menekankan pada cara-cara pemimpin memfasilitasi kinerja kerja dengan menunjukkan pada bawahan bagamana kinerja diperoleh melalaui pencapaian rewards yang diinginkan. Path Goal theory juga mengatakan bahwa kepuasan kerja dan kinerja kerja tergantung pada expectancies bawahan. Harapan-harapan bawahan bergantung pada ciri-ciri bawahan dan lingkungan yang dihadapi oleh bawahan. Kepuasan dan kinerja kerja bawahan bergantung pada leadership behavior dan leadership style.
Ada 4 macam leadership style :
1. Supportive Leadership: Gaya kepemimpinan ini menunjukkan perhatian pada kebutuhan pribadi karyawannya. Pemimpin jenis ini berusaha mengembangkan kepuasan hubungan interpersonal diantara para karyawan dan berusaha menciptakan iklim kerja yang bersahabat di dalam organisasi.
2. Directive Leadership: Pemimpin yang memberikan bimbingan khusus pada Karyawannya dengan menetapkan standar kinerja, mengkoordinasi kinerja kerja dan meminta karyawan untuk mengikuti aturan aturan organisasi.
3. Achievement Oriented Leadership: Pemimpin yang menetapkan tujuan yang menantang pada bawahannya dan meminta bawahan untuk mencapai level performens yang tinggi.
4. Participative Leadership: Pemimpin yang menerima saran-saran dan nasihat-nasihat bawahan dan menggunakan informasi dari bawahan dalam pengambilan keputusan organisasi.
Hal yang menentukan keberhasilan dari setiap jenis kepemimpinan tersebut adalah subordinate characteristics (contohnya: Karyawan yang internal l locus of control atau external locus of control, karyawan yang mempunyai need achievement yang tinggi atau need affiliation yang tinggi, dll.) dan environmental factors (system kewenangan dalam organisasi).
Contoh kasus yang sedang dihadapi oleh yahoo
San Francisco - Yahoo kembali melakukan bersih-bersih dengan membuang produk yang dinilai kurang menghasilkan keuntungan. Ini adalah bagian dari strategi Yahoo agar fokus dan melakukan efisiensi dalam operasional perusahaannya.
Seperti diketahui, bos Yahoo yang baru Scott Thompson dituntut membuat perubahan dan bisa mengembalikan kejayaan Yahoo yang pendapatannya terus menurun. "Kami perlu melakukan apa yang belum pernah dilakukan," kata Thompson seperti dikutip detikINET dari AFP, Kamis (19/4/2012).
Disebutkannya, Yahoo akan membuang 50 produk yang dianggap tidak memberikan kontribusi berarti terhadap pendapatan. Sebagai gantinya, Yahoo hanya akan fokus pada online venue seperti News, Finance, Sports dan Yahoo Mail yang menarik sebagian besar pengguna dan pengiklan.
Aksi bersih-bersih di bawah kepimpinan Thompson juga pernah dilakukan sebelumnya. Awal tahun ini Yahoo juga mematikan 10 aplikasi mobile. Keputusan ini dilakukannya guna merespons pasar mobile yang berubah sangat cepat. Yahoo berjanji akan berkomitmen pada pendekatan 'mobile first' dan mengembangkan berbagai layanan baru ke depannya.
Penyelesaian masalah menurut penulis:
Menurut pendapat saya, dengan masalah yang dihadapi sekarang oleh yahoo seharusnya gaya kepemimpinan yahoo harus diubah dikarenakan apabila terus melakukan gaya kepemimpinan seperti itu akan lebih memperburuk permasalahan tersebut.selanjutnya, solusi yang harus digunakan dalam permasalahn tersebut dengan cara menggunakan teori Teori Vroom dan Yetton dalam 5 jenis cirri pengambilan keputusan terdapat pada G-II yaitu: pemimpin memberitahukan masalah kepada bawahanya secara berkelompok, lalu bersama – sama merundingkan jalan keluarnya, dan mengambil keputusan yang disetujui oleh semua pihak, lalu secara bersama_sama kembali merencanakan penegembangan berbagai layanan-layanan terbaru kedepannya guna mengembalikan rating atau peringkat tertinggi yang sebagaimana telah menjadi sebagai cita-cita perusahaan.
daftar pustaka:
http://inet.detik.com/read/2012/04/19/092110/1896016/398/bersih-bersih-yahoo-buang-50-produk
Rabu, 18 April 2012
Selasa, 10 April 2012
kepemimpinan soeharto
Tulisan ini mencoba mengurai kembali kepemimpinan Soeharto sejak akhir 1960-an sampe petengahan tahun 1998. Garapan awal kepemimpinan Soeharto adalah pembangunan ekonomi, jargon”economic law and politic later”menjadi prinsip utama penyelengaraan negara. Pemerintahan Soeharto yang di sebut Orde Baru memang mengambil alih kekuasaan dalam keadaan politik yang kacau, termasuk ketidakpastian ekonomi rakyat karena harga yang meningkat pesat dan tidak terjangkau oleh daya beli rata-rata masyarakat luas. Karena itu, sampai beberapa tahun kekuasaan beralih masalah ekonomi masih menjadi persoalan yang pelik.
Pemerintahan Soeharto pada waktu itu seperti tidak ada pilihan lain, kecuali mengubah dengan ekstrem fokus pembangunan di bidang ekonomi dengan cara yang luar biasa untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dan transformai menuju industrialisasi. Jadi, dari analisis historis, sudut pandang momentum ketika itu fokus perhatian Pak Harto ke bidang ekonomi dengan cara-cara ekstrem merupakan pilihan yang sangat tepat. Ide gagasan awal dari pola gerakan pembangunan ekonomi yakni pertumbuhan ekonomi akan menetes ke bawah dan tidak ada pemerataan tanpa pertumbuhan ekonomi, walaupun pada akhirnya yang dibagi hanya kemiskinan kepada masyarakat Indonesia. Permasalahan selanjutnya ketika pertumbuhan ekonomi benar-benar tercapai pada fase pertengahan kepemimpinan Soeharto sekitar 7-8% pada tahun 1967-1981, tetapi nampaknya tetap saja pemerataan tertinggal jauh di belakang.
Landasan pembangunan ekonomi Soeharto, pada akhirnya mengakibatkan partisipasi masyarakat dalam sistem pemerintahan dianggap lebih mengganggu proses pembangunan. Di sisi lain, Soeharto tetap memperhatikan nasib rakyat Indonesia, yang secara makro sangat dipengaruhi oleh dialektika internasioanal. Sebagaimana masyarakat di dunia pada umumnya, di Indonesia pun bentuk kehidupan demokrasi atau keotoriteran pemimpin ditentukan oleh interaksi dari ekonomi, politik, dan sosial. Dalam hal ini Soeharto telah mampu mengelaborasikan kekuatan militer dan birokrasi sebagai modal awal memandu kepemimpinan negara. Secara tidak sadar Soeharto telah mengemas dengan apik. Idealnya, demokrasi yang dikembangkan pada waktu itu memenuhi bagian terbesar standar universal. Pemenuhan pembatasan kekuasaan lewat pembagian dan pemisahan kekuasaan di antara ketiga cabang pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), pengoprasian sistem chek and balences telah melandasi proses demokrasi di dalam kepemimpinan Soeharto.
Akibat ketidakmampuan Soeharto melakukan pemerataan ekonomi, terjadinya kecemburuan sosial merebak di mana-mana selama proses transformasi ekonomi berlangsung. Setelah pertumbuhan ekonomi terjadi selama tiga dekade pembanguan jangka panjang, ternyata telah membangun konglomerat elite baik di dalam istana maupun di luar istana. Maka kondisi ekonomi yang di ikuti oleh etatisme corporatisme dan kronitisme yang kuat di jajaran pemerintahan orde baru membuat semakin jauh jarak si miskin dan si kaya.
Akui tidak di akui perjalanan panjang kepemimpinan Soeharto untuk melakukan kontrol sosial, dan mengelola konflik di masyarakat terbilang mulus, karena Soeharto melaksanakan sejumlah pendekatan refresif dan koersif terhadap kekuatan lain yang memiliki potensi untuk menjadi oposisi dalm pemerintahannya. Sebagaian pengamat mengatakan golongan Islam tradisional yang bisa di indikasikan mempunyai kekuatan penyeimbang dari kekuasan Soeharto, karena memiliki basis massa yang banyak. Baberapa argumentasi di atas hanyalah contoh kecil dari sejumlah besar strategi Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. Meski sebagian kalangan yang menentang dirinya menganggap bahwa Soeharto anti-demokrasi, tetapi pada zamannya strategi politik tersebut dianggap sebagai kekuatan poltik yang cukup heroik.
Jatuhnya rezim Soeharto yang telah dianggap otoriter menjalankan pememerintahan lebih dari 32 tahun, dikarenakan jepitan gerakan intelektual dan massa rakyat membuka peluang kembali bagi kembalinya demokrasi yang sudah dilalui oleh perjalanan panjang sejarah bangsa. Perjalanan demokrasi Indonesia pasca Soeharto mendapat pelajaran berharga dari semua rangkaian peristiwa sejarah masa lalu. Kini tergantung pada pemimpin-pemimpin masa depan, apakah Indonesia akan kembali mengulang model kepemimpinan Soeharto, ataukah menggantikannya dengan yang lebih merakyat dan demokratis.
Perjalanan Demokrasi Indonesia
Apabila kita amati fenomena perjalanan demokrasi dan pergantian kepemimpinan bangsa sebenarnya adalah refleksi kesejahtraan publik yang terpinggirkan. Hal ini diperparah dengan ketertindasan yang dihadapi oleh umat Islam, baik oleh kekuatan Barat maupun oleh golongan yang mengatasnamakan Islam. Terlepas dari realitas politis sekarang, fenomena maraknya gerakan Islam radikal di Indonesia, sebenarnya juga mengandung jebakan-jebakan. Pertama, jangan-jangan disintegrasi gerakan radikalisme merupakan rekayasa politik global untuk memecah belah masyarakat Islam yang ada di Indonesia. Kedua, Negara Indonesia telah kehilangan bingkai kebersamaan atau komitmen kebangsaan yang berusaha mewujudkan kemakmuran dan kesejahtraan.
Kalau itu yang terjadi, maka kemudian agama telah menjadi instrumen partikularistik gerakan-gerakan agama dan kebangkitan kelompok yang kemudian mendapatkan angin segar dari suara-suara Internasional yang menginginkan perpecahan di dunia Islam. Hal ini yang diperlukan oleh negara, agar agama dijadikan perekat pada level society. Jika perekat itu hilang dan diganti oleh ikatan kepentingan salah satu golongan maka konsep kenegaraan yang memiliki budaya Democratic Civility akan lenyap secara perlahan.
Apabila bangsa Indonesia berhasil menuntaskan agenda reformasi dan menguatkan kembali pemerintahan yang konsisten untuk mensejahtrakan rakyatnya, maka masyarakat Indonesia sedang dibawa ke suatu masa depan yang gemilang. Namun, apabila gerakan radikalisme, tidak segera dituntaskan sampai ke akarnya, kekhawatiran hal ini akan menjadi bumerang untuk disintegrasi yang mengatasnamakan kepentingan agama.
Kritikan: seharusnya kepimpinan Soeharto pada zaman dahulu tidak bersistem otoriter namun bersistem dimana kepala Negara masih mendengarkan suara rakyatnya akan tetapi tidak membiarkan rakyatnya berdemonstrasi secara besar-besaran dan anarkis.
Saran: seharusnya para pimpin sekarang mencontoh system kepempinan bapak Soeharto, bukan memimpin secara otoriter tetapi memimpin dengan memikirkan rakyat banyak yang tidak mampu membeli kebutuhan hidup diluar batas kemampuannya.
Pemerintahan Soeharto pada waktu itu seperti tidak ada pilihan lain, kecuali mengubah dengan ekstrem fokus pembangunan di bidang ekonomi dengan cara yang luar biasa untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dan transformai menuju industrialisasi. Jadi, dari analisis historis, sudut pandang momentum ketika itu fokus perhatian Pak Harto ke bidang ekonomi dengan cara-cara ekstrem merupakan pilihan yang sangat tepat. Ide gagasan awal dari pola gerakan pembangunan ekonomi yakni pertumbuhan ekonomi akan menetes ke bawah dan tidak ada pemerataan tanpa pertumbuhan ekonomi, walaupun pada akhirnya yang dibagi hanya kemiskinan kepada masyarakat Indonesia. Permasalahan selanjutnya ketika pertumbuhan ekonomi benar-benar tercapai pada fase pertengahan kepemimpinan Soeharto sekitar 7-8% pada tahun 1967-1981, tetapi nampaknya tetap saja pemerataan tertinggal jauh di belakang.
Landasan pembangunan ekonomi Soeharto, pada akhirnya mengakibatkan partisipasi masyarakat dalam sistem pemerintahan dianggap lebih mengganggu proses pembangunan. Di sisi lain, Soeharto tetap memperhatikan nasib rakyat Indonesia, yang secara makro sangat dipengaruhi oleh dialektika internasioanal. Sebagaimana masyarakat di dunia pada umumnya, di Indonesia pun bentuk kehidupan demokrasi atau keotoriteran pemimpin ditentukan oleh interaksi dari ekonomi, politik, dan sosial. Dalam hal ini Soeharto telah mampu mengelaborasikan kekuatan militer dan birokrasi sebagai modal awal memandu kepemimpinan negara. Secara tidak sadar Soeharto telah mengemas dengan apik. Idealnya, demokrasi yang dikembangkan pada waktu itu memenuhi bagian terbesar standar universal. Pemenuhan pembatasan kekuasaan lewat pembagian dan pemisahan kekuasaan di antara ketiga cabang pemerintahan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), pengoprasian sistem chek and balences telah melandasi proses demokrasi di dalam kepemimpinan Soeharto.
Akibat ketidakmampuan Soeharto melakukan pemerataan ekonomi, terjadinya kecemburuan sosial merebak di mana-mana selama proses transformasi ekonomi berlangsung. Setelah pertumbuhan ekonomi terjadi selama tiga dekade pembanguan jangka panjang, ternyata telah membangun konglomerat elite baik di dalam istana maupun di luar istana. Maka kondisi ekonomi yang di ikuti oleh etatisme corporatisme dan kronitisme yang kuat di jajaran pemerintahan orde baru membuat semakin jauh jarak si miskin dan si kaya.
Akui tidak di akui perjalanan panjang kepemimpinan Soeharto untuk melakukan kontrol sosial, dan mengelola konflik di masyarakat terbilang mulus, karena Soeharto melaksanakan sejumlah pendekatan refresif dan koersif terhadap kekuatan lain yang memiliki potensi untuk menjadi oposisi dalm pemerintahannya. Sebagaian pengamat mengatakan golongan Islam tradisional yang bisa di indikasikan mempunyai kekuatan penyeimbang dari kekuasan Soeharto, karena memiliki basis massa yang banyak. Baberapa argumentasi di atas hanyalah contoh kecil dari sejumlah besar strategi Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. Meski sebagian kalangan yang menentang dirinya menganggap bahwa Soeharto anti-demokrasi, tetapi pada zamannya strategi politik tersebut dianggap sebagai kekuatan poltik yang cukup heroik.
Jatuhnya rezim Soeharto yang telah dianggap otoriter menjalankan pememerintahan lebih dari 32 tahun, dikarenakan jepitan gerakan intelektual dan massa rakyat membuka peluang kembali bagi kembalinya demokrasi yang sudah dilalui oleh perjalanan panjang sejarah bangsa. Perjalanan demokrasi Indonesia pasca Soeharto mendapat pelajaran berharga dari semua rangkaian peristiwa sejarah masa lalu. Kini tergantung pada pemimpin-pemimpin masa depan, apakah Indonesia akan kembali mengulang model kepemimpinan Soeharto, ataukah menggantikannya dengan yang lebih merakyat dan demokratis.
Perjalanan Demokrasi Indonesia
Apabila kita amati fenomena perjalanan demokrasi dan pergantian kepemimpinan bangsa sebenarnya adalah refleksi kesejahtraan publik yang terpinggirkan. Hal ini diperparah dengan ketertindasan yang dihadapi oleh umat Islam, baik oleh kekuatan Barat maupun oleh golongan yang mengatasnamakan Islam. Terlepas dari realitas politis sekarang, fenomena maraknya gerakan Islam radikal di Indonesia, sebenarnya juga mengandung jebakan-jebakan. Pertama, jangan-jangan disintegrasi gerakan radikalisme merupakan rekayasa politik global untuk memecah belah masyarakat Islam yang ada di Indonesia. Kedua, Negara Indonesia telah kehilangan bingkai kebersamaan atau komitmen kebangsaan yang berusaha mewujudkan kemakmuran dan kesejahtraan.
Kalau itu yang terjadi, maka kemudian agama telah menjadi instrumen partikularistik gerakan-gerakan agama dan kebangkitan kelompok yang kemudian mendapatkan angin segar dari suara-suara Internasional yang menginginkan perpecahan di dunia Islam. Hal ini yang diperlukan oleh negara, agar agama dijadikan perekat pada level society. Jika perekat itu hilang dan diganti oleh ikatan kepentingan salah satu golongan maka konsep kenegaraan yang memiliki budaya Democratic Civility akan lenyap secara perlahan.
Apabila bangsa Indonesia berhasil menuntaskan agenda reformasi dan menguatkan kembali pemerintahan yang konsisten untuk mensejahtrakan rakyatnya, maka masyarakat Indonesia sedang dibawa ke suatu masa depan yang gemilang. Namun, apabila gerakan radikalisme, tidak segera dituntaskan sampai ke akarnya, kekhawatiran hal ini akan menjadi bumerang untuk disintegrasi yang mengatasnamakan kepentingan agama.
Kritikan: seharusnya kepimpinan Soeharto pada zaman dahulu tidak bersistem otoriter namun bersistem dimana kepala Negara masih mendengarkan suara rakyatnya akan tetapi tidak membiarkan rakyatnya berdemonstrasi secara besar-besaran dan anarkis.
Saran: seharusnya para pimpin sekarang mencontoh system kepempinan bapak Soeharto, bukan memimpin secara otoriter tetapi memimpin dengan memikirkan rakyat banyak yang tidak mampu membeli kebutuhan hidup diluar batas kemampuannya.
Langganan:
Postingan (Atom)